Sabtu, 02 April 2011

PENGALAMAN PENGAMALAN PANCASILA

PANCASILA. Seruai berbagai kalangan untuk melakukan revitalisasi atau restorasi Pancasila sesungguhnya mengandung sejumlah alasan. Pancasila merupakan dasar resmi kebangsaan dan kenegaraan. Setiap upaya revitalisasi Pancasila mencerminkan kegairahan untuk mencari kontekstualisasi prinsip-prinsip dasar kebangsaan dan kenagaraan.
Dampak dari melemahnya wacana Pancasila mulai terasa dewasa ini. Ada kemajuan cukup signifikan dalam proses transisi demokrasi. Namun ada pula letupan gejolak sosial politik yang terkadang  cukup mengkhawatirkan. Berlangsung proses amandemen UUD 1945, namun hasil yang diperoleh menurut sejumlah kalangnan masih jauh dari mencukupi untuk membangun desain ketatanegaraan yang solid. Ada keinginan untuk menatap masa depan baru Indonesia, namun ada semacam bayang-bayang kebingungan dalam membangun visi Indonesia baru pada masa transisi demokrasi.
Munculnya persoalan tersebut, bial mau berkata jujur, cukup mengesalkan. Kita seakan mengulang kembali perdebatan panjang yang dimulai sejak Indonesia merdeka. Bagaimanapun. Kita terpaksa berkutat dengan masalah tersebut karena pengalaman masa lalau terhadap pancasila yang juga menjengkelkan. alih-alih membangkitkan inspirasi untuk membangun kesolidan berbangsa, prinsip kebangsaan dan kenegaraan tersebut lebih bnayak mendatangkan trauma sosial politik tak berkesudahan.
Masa perumusan
Dua sejarawan dari Universitas Indonesia, Onghokham dan Andi Achdian,menelusuri lebih jauh bagaimana Pancasila berkembang menjadi “ideologi negara”. Mereka menengarai wacana pancasila sebagai “ideologi negara: bersifat komprehensif baru berkembang pada awal dekade 1960. Pada awal kelahirannya, menurut Onghokham dan Andi Achdian, pancasila tidak lebih sebagia suatu kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak digunakan Indonesia merdeka.
Kesepakatan politik untuk menyatukan seluruh elemen nasional tampaknya cukup mendominasi wacana saat pancasila dirumuskan. Sayangnya perspektif itu kurang ditonjolkan. Soekarno sendiri dalam pidato 1 Juni 1945 kerap menggunakan kata weltanschauung untuk menyebut dasar negara. Persepsi Soekarno tentang weltanschauung hampir identik dengan ideologi, walaupun keduanya sama sekali berbeda. Weltanschauung adalah pandangna dunia (world view) suatu masyarakat yang terbentuk dari pengalaman bersama dalam batas dan kondisi lingkungan tertentu yang menghasilkan sistem sosiokultural, khususnya nilai0nilai bersifat spesifik.
Demokrasi Terpimpin
Ketika UUD 1945 diberlakukan (kembali), Soekarno berasumsi bahwa konstitusi ini merupakan refleksi dari sistem pemerintahan orisinal bangsa Indonesia. Asumsi itu tentu dapat diperdebatkan. Namun, Soekarano tetap bergeming. Pancasia, menurut Seokarno, adalah orisinal Indonesia sehingga dengan sendirinya batang tubuh UUD 1945 juga mengandung keasliannya. Begitu pula sistem pemerintahan. Kendati tidak satu kata pun terbesit dalam UUD 1945, Soekarno mempersepsikan sistem pemerintahan yang dikehendaki konstitusi adalah demokradi terpimpin. Sistem demokrasi itu dipahami sebagai pengejawantahan sistem musyawarah mufakat yang dikandung sila keempat di dalam Pancasila, dan dianggap mencerminkan kepribadian bangsa. Alur berpikir demikian mendasari Soekarno untuk menggagas dan menerapkan sistem politik baru yang dinamakannya Demokrasi Terpimpin.
Sosialisasi terhadap paham Pancasila seperti itu menjadi prelude penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan “ideologi negara” yang tampil hemogonik. Ikhtiar tersebut tercapai ketika Soekarno memberi tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”. Manifesto Politik (Manipol) adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan Peringbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Belakangna materi tersebut dikukuhkan dalam penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No.1/MPRS/1960 tentang GBHN. Sedangkan USDEK adalah singkatan dari [U]UD 1945, [S]osialisme ala Indonesia, [D]emokrasi Terpimpin, [E]konomi terpimpin dan [K]epribadian Indonesia. Itu adalah materi pokok pidato Soekarno pada 17 Agustus 1960 berjudul “Djalannja Revolusi Kita (Jarek)” USDEK, menurut Soekarno adalah intisari dari Manipol.
Manipol/USDEK adalah sebuah doktrin yang mengajarkan pentingnya menyatukan kekuatan-kekuatan “revolusi”, termasuk aliran Nasionalis, Agama dan Komunis, dalam rangka memberantas “musuh-musuk revolusi” khususnya kekuatan imperialisme-kolonialisme, untuk mewujudkan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional.
Soekarno pada masa awal Demokrasi Terpimpin memang powerfull, dan boleh dikatakan tidak ada satupun kekuatan politik yang berani melakukan oposisis secara terbuka. Selain tiadanya lembaga yang mewadahi kritik, kekuatan oposan saat itu, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI) masih sangat lemah dan sulit menandingi kekuatan politik Soekarno.
ORDE BARU
Kecenderungan untuk menempatkan Pancasila sebagai “ideologi Negara” kembali terulang pada masa Orde Baru. Cikal bakalnya sudah tertanam sejak Demokrasi Terpimpin. Tokoh-tokoh antikomunis saat itu tidak menemukan konsep ideologi yang dapat mempersatukan seluruh kekuatan antikomunis kecuali Pancasila. Problemnya, wacana Pancasila masa Demokrasi Terpimpin didominasi tafsir Soekarno, sedangkan para tokoh antikomunis tidak menyetujuinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar